Rabu, 10 November 2010

Karya Pelukis Terkenal Dunia

 Pelukis Dunia :

1) Hieronimus

St. Hieronimus, karya Peter Paul Rubens, 1625–1630
Hieronimus (sekitar 34730 September, 420; Yunani: Ευσέβιος Σωφρόνιος Ιερόνυμος, Latin: Eusebius Sophronius Hieronymus) terkenal sebagai penerjemah Alkitab dari Bahasa Yunani dan Ibrani ke dalam Bahasa Latin. Dia juga asalah seorang apologis Kristen. Alkitab edisi Hieronimus, yakni Vulgata, masih merupakan naskah Alkitab penting dalam Gereja Katolik Roma. Dia diakui oleh Vatikan sebagai salah seorang Doktor Gereja.
Dalam tradisi artistik Gereja Katolik Roma, biasanya dia, yang adalah pelindung pendidikan teologi, dilukiskan sebagai seorang Kardinal, bersebelahan dengan Uskup Agustinus dari Hippo, Uskup Agung Ambrosius, dan Paus Gregorius I. Bahkan bilamana dia dilukiskan sebagai seorang pertapa uzur, dengan salib, tengkorak, dan Alkitab sebagai satu-satunya perabot dalam bilik pertapaannya, harus disertai pula topi merah atau sesuatu yang lain dalam lukisan tersebut untuk menunjukkan status kardinalnya .

Santo Heronimus dalam studinya, karya Domenico Ghirlandaio
Hieronimus lahir di Strido, perbatasan Pannonia dan Dalmatia, pada abad ke-4 sebagaimana tertulis dalam karyanya De Viris Illustribus Bab 135.
Hieronimus berbangsa Illyria, kedua orangtuanya beragama Kristen, namun dia baru dibaptis pada tahun 360, ketika pergi ke Roma bersama sahabatnya Bonosus untuk melanjutkan studi retorika dan filsafat di kota itu. Di Roma dia belajar di bawah bimbingan Aelius Donatus, seorang yang sangat mahir dalam mengompilasi teknik-teknik bahasa yang disebut Donatus sebagai "grammatica." Hieronimus mempelajari pula Bahasa Yunani Koine, akan tetapi belum tersirat dalam benaknya untuk menekuni tulisan-tulisan Bapa-Bapa Gereja Yunani, atau pun tulisan-tulisan Kristiani lainnya.
Setelah beberapa tahun lamanya di Roma, dia melakukan perjalanan bersama Bonosus ke Gallia dan menetap di Trier "pada tepian sungai Rhine yang setengah-liar" tempat dia mempelajari teologi untuk pertama kalinya, dan tempat dia menyalin, bagi sahabatnya Rufinus, komentar Hilarus mengenai Kitab Mazmur dan traktat De synodis. Kemudian dia tinggal selama sekurang-kurangnya beberapa bulan, atau mungkin beberapa tahun, dengan Rufinus di Aquileia tempat dia menjalin persahabatan dengan banyak orang Kristen.
Beberapa sahabatnya itu menemaninya tatkala dia melakukan perjalanan sekitar tahun 373 melewati Trakea dan Asia Kecil menuju Syria Utara. Di Antiokhia, tempat dia menetap paling lama, dua dari rekan seperjalanannya meninggal dunia dan dia sendiri sakit parah lebih dari sekali. Pada waktu terbaring sakit inilah (sekitar musim dingin tahun 373-374) dia mendapat suatu penglihatan yang menyuruhnya untuk mengesampingkan studi-studi duniawi dan membaktikan dirinya untuk perkara-perkara Illahi. Tampaknya saat itu dia sudah cukup lama abstain dari studi klasik dan bersungguh-sungguh mendalami studi Alkitab, berkat dorongan Apollinaris dari Laodikia yang mengajarinya sampai benar-benar mahir dalam Bahasa Yunani.
St. Hieronimus sedang membaca di pingiran desa, oleh Giovanni Bellini
Karena hasratnya yang menggebu-gebu untuk hidup bermatiraga, selama beberapa waktu dia tinggal di Gurun Chalcis, arah Barat Daya dari kota Antiokhia, yang dikenal sebagai Thebaid Syria karena sebagian besar pertapa yang hidup di situ berasal dari Syria. Selama itu tampaknya dia masih sempat meluangkan waktu untuk studi dan tulis-menulis. ntuk pertama kalinya dia mencoba mempelajari Bahasa Ibrani di bawah bimbingan seorang Yahudi yang sudah beralih ke agama Kristen; pada saat itu rupanya dia telah menjalin hubungan dengan orang-orang Yahudi yang beragama Kristen di Antiokhia, dan mungkin saja sejak itulah dia tertarik pada Injil Umat Ibrani, yang menurut kaum Yahudi Kristen tersebut adalah sumber dari Injil Matius yang kanonik.
Setelah kembali ke Antiokhia pada tahun 378 atau 379, dia ditahbiskan oleh Uskup Paulinus. Rupanya dia tidak berkeinginan untuk ditahbiskan, dan oleh karena itu ia mengajukan syarat agar diperbolehkan melanjutkan pola hidup bermatiraga setelah ditahbiskan. Segera setelah itu dia berangkat ke Konstantinopel untuk melanjutkan studinya dalam bidang Kitab Suci di bawah bimbingan Santo Gregorius Nazianzus. Tampaknya dia menetap di kota itu selama dua tahun; tiga tahun berikutnya (382-385) dia di Roma lagi, berhubungan dekat dengan Paus Damasus dan para pemuka masyarakat Roma yang beragama Kristen. Keberadaannya di Roma mula-mula karena diundang untuk menghadiri sinode tahun 382 yang digelar dengan tujuan mengakhiri skisma di Antiokhia, dirinya menjadi sangat penting di mata Sri Paus dan mendapat tempat terhormat dalam dewan penasehatnya.
Hieronimus, karya Caravaggio.
Salah satu di antara berbagai tugas yang diembannya adalah melakukan revisi terhadap naskah Alkitab Latin berbasis Perjanjian Baru Yunani dan Perjanjian Lama Ibrani, dengan maksud menyudahi penyimpangan-penyimpangan yang terdapat dalam naskah-naskah Gereja Barat pada masa itu. Sebelum adanya karya terjemahan Hieronimus, seluruh terjemahan Kitab Perjanjian Lama didasarkan atas Septuaginta. Meskipun ditentang oleh warga Kristen lainnya termasuk Agustinus sendiri, dia memilih untuk menggunakan Kitab Perjanjian Lama Ibrani, bukannya Septuaginta.
Penugasan untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Latin menentukan rentang kegiatan kesarjanaannya selama bertahun-tahun, dan merupakan pencapaian terpenting yang berhasil diraihnya. Alkitab yang diterjemahkannya dari Bahasa Yunani ke dalam Bahasa Latin disebut Vulgata (vulgar) karena menggunakan bahasa sehari-hari, atau bahasa kasar (vulgar), yang dituturkan masyarakat pada masa itu. Tak diragukan lagi dia menjadi sangat berpengaruh selama tiga tahun tersebut, bukan saja karena kadar keilmuannya yang luar biasa, melainkan juga karena karena pola hidup matiraga ketat dan realisasi cita-cita monastiknya.
Dia dikelilingi sekelompok wanita yang terpelajar dan berasal dari keluarga kaya, termasuk beberapa wanita dari keluarga bangsawan tertinggi, seperti dua orang janda Marcella dan Paula serta puteri-puteri mereka, Blaesilla dan Eustochium. Meningkatnya minat para wanita tersebut pada hidup membiara, dan kritik-kritik Hieronimus yang gencar terhadap kehidupan kaum klerus sekuler, membuatnya makin dijauhi oleh para klerus tersebut dan para pendukung mereka. Segera setelah kematian pelindungnya, Sri Paus Damasus (10 Desember 384), Hieronimus dipaksa melepas jabatannya di Roma setelah kaum klerus Roma membentuk dewan inkuisisi untuk menyelidiki kecurigaan akan adanya hubungan yang tidak senonoh antara dirinya dengan si janda Paula.
Pada bulan Agustus 385, dia kembali ke Antiokhia bersama saudaranya Paulinianus dan beberapa sahabatnya, dan beberapa waktu kemudian disusul oleh Paula dan Eustochium, yang telah memutuskan untuk meninggalkan lingkungan bangsawan dan menghabiskan masa hidup mereka di Tanah Suci. Pada musim dingin tahun 385 Hieronimus menyertai perjalanan dan bertindak selaku penasehat spiritual mereka. Bersama Uskup Paulinus dari Antiokhia yang menggabungkan diri kemudian, para peziarah ini mengunjungi Yerusalem, Betlehem, dan tempat-tempat suci di Galilea, lalu kemudian berangkat ke Mesir, markas para pahlawan dari hidup bermatiraga.
Di Sekolah Katekese Aleksandria, Hieronimus mendengarkan Seorang katekis tunanetra, Didymus Si Buta, mengulas tentang Nabi Hosea dan kenangannya tentang Santo Antonius Agung, yang telah wafat 30 tahun sebelumnya; dia tinggal sebentar selama beberapa waktu di Nitria, mengagumi kehidupan komunitas yang teratur dari banyaknya warga "kota Tuhan" itu, namun mendapati bahwa bahkan di tempat semacam itu sekalipun "bersembunyi ular-ular beludak" yakni pengaruh ajaran teologi Origenes. Menjelang akhir musim panas tahun 388 dia kembali ke Palestina dan menetap hingga akhir hayatnya di sebuah bilik pertapaan dekat Betlehem, dikelilingi beberapa sahabat, pria maupun wanita (termasuk Paula dan Eustochium), sebagai imam pembimbing rohani dan guru bagi mereka.
Lukisan karya Niccolò Antonio Colantonio, memperlihatkan St. Hieronimus mencabut duri yang tertancap di telapak kaki seekor singa.
Keperluan hidup sehari-hari dan koleksi buku Hieronimus yang terus bertambah disediakan berlimpah oleh Paula, hidupnya dibaktikan bagi produksi literatur. Pada masa 34 tahun terakhir dari kariernya ini muncullah karya-karyanya yang paling penting -- Versi Perjanjian Lama hasil terjemahannya dari naskah asli, komentar-komentar terbaiknya mengenai Kitab Suci, katalog para penulis Kristen yang disusunnya, dan dialog melawan kaum Pelagian, yang kesempurnaan sastranya diakui bahkan oleh seorang lawan kontroversial sekalipun. Dalam periode ini pula terbit sebagian besar polemiknya yang panas, yang membedakannya dari para Bapa Gereja yang ortodoks, termasuk khususnya traktat-traktat sehubungan dengan kontroversi ajaran Origenes menentang Uskup Yohanes II dari Yerusalem dan teman lamanya Rufinus. Akibat dari tulisannya menentang Pelagianisme, sekelompok pendukung Pelagianisme yang marah menerobos ke dalam bangunan-bangunan biara, membakarnya, menyerang para penghuninya dan membunuh seorang diakon. Huru-hara yang pecah pada tahun 416 ini memaksa Hieronimus mengamankan diri di hutan sekitarnya.
Hieronimus meninggal dunia di dekat kota Betlehem pada tanggal 30 September 420. Tanggal kematiannya diperoleh dari kitab Chronicon karya Santo Prosper dari Aquitaine. Jenazahnya mula-mula dimakamkan di Betlehem, dan konon kemudian dipindahkan ke gereja Santa Maria Maggiore di Roma, meskipun berbagai tempat di Barat mengaku memiliki relikui Hieronimus -- katedral di Nepi, Italia mengaku menyimpan kepalanya, yang menurut tradisi lain tersimpan di Biara Kerajaan Spanyol, San Lorenzo de El Escorial, Madrid.

Lukisan Pangeran Diponegoro

Lukisan adalah karya seni yang proses pembuatannya dilakukan dengan meletakkan pewarna "pigmen" cair dalam pelarut (atau medium) dan agen pengikat (lem) kepada permukaan (penyangga) seperti kertas, kanvas, atau dinding. Ini dilakukan oleh seorang pelukis; definisi ini digunakan terutamanya jika ia merupakan pencipta suatu karya lukisan. Manusia telah melukis selama 6 kali lebih lama berbanding penggunaan tulisan. Sebagai contoh lukisan-lukisan yang berada di gua-gua tempat tinggal manusia prasejarah.



Seni pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari ilmu. Dewasa ini, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreatifitas manusia. Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, bahwa masing-masing individu artis memilih sendiri peraturan dan parameter yang menuntunnya atau kerjanya, masih bisa dikatakan bahwa seni adalah proses dan produk dari memilih medium, dan suatu set peraturan untuk penggunaan medium itu, dan suatu set nilai-nilai yang menentukan apa yang pantas dikirimkan dengan ekspresi lewat medium itu, untuk menyampaikan baik kepercayaan, gagasan, sensasi, atau perasaan dengan cara seefektif mungkin untuk medium itu. Sekalipun demikian, banyak seniman mendapat pengaruh dari orang lain masa lalu, dan juga beberapa garis pedoman sudah muncul untuk mengungkap gagasan tertentu lewat simbolisme dan bentuk (seperti bakung yang bermaksud kematian dan mawar merah yang bermaksud cinta).




Diponegoro dalam Lukisan
oleh Fandy Hutari
Karya J.W. Pieneman, "Penaklukan Diponegoro" (atas) dan karya Raden Saleh "Penangkapan Diponegoro". (foto: google)
SOSOK Pangeran Diponegoro rupanya menarik perhatian dua maestro lukis tempo doeloe. Ada dua versi lukisan tentang peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro, yang pertama hasil karya seorang pelukis Belanda, J.W. Pieneman, dan yang kedua hasil karya pelopor seni lukis modern Indonesia, Raden Saleh (1807-1880). Meskipun inspirasinya sama, yaitu tentang penangkapan Pangeran Diponegoro, tetapi interpretasi lukisan ini jauh berbeda.

J.W. Pieneman membuat lukisan tentang tema ini lebih dahulu daripada Raden Saleh. Lukisan Pieneman yang berjudul Penaklukan Diponegoro menggambarkan peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro dari perspektif kolonial. Di dalam lukisannya, Pieneman menciptakan sosok sang pangeran yang tidak berdaya dengan raut muka lelah seolah kehilangan akal, pasrah, dan tangan terbentang. Selain itu, terdapat hamparan tombak yang menandakan kalah perang. Di bagian belakang tampak Jenderal de Kock setengah bertolak pinggang sambil menunjuk ke arah kereta tahanan yang siap membawanya ke tempat pengasingan. Dua pengikut  Pangeran Diponegoro dalam lukisan tersebut terlihat sangat menyesali perbuatannya, sampai “menyembah-nyembah” pada Jenderal de Kock.

Lukisan Raden Saleh yang mengusung tema sama diberi judul Penangkapan Diponegoro. Lukisan ini selesai dibuat pada 1857. Karya Raden Saleh merupakan wujud reaksinya terhadap lukisan Pieneman. Dalam lukisan Raden Saleh digambarkan Pangeran Diponegoro berwajah tegas dan berwibawa. Kepalanya tegak menghadap ke depan. Tangan sang pangeran mengepal seakan menahan marah dan menggenggam sebuah tasbih. Yang unik dalam lukisan Raden Saleh adalah tidak ada satu pun senjata di pihak Pangeran Diponegoro. Berbeda dengan Pieneman yang memperlihatkan hamparan tombak, di lukisan Raden Saleh tidak ada satu pun tombak terlihat. Bahkan sebilah keris, yang menjadi salah satu ciri khas Pangeran Diponegoro dan selalu ditaruh di pinggangnya, tidak ada. Ini menandakan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada saat Idul Fitri, tepatnya 28 Maret 1830. Selain itu Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya juga mempunyai niat baik dalam perundingan yang kemudian berubah menjadi penangkapan.

Raut wajah Jenderal de Kock dalam lukisan Raden Saleh tampak begitu segan terhadap Pangeran Diponegoro. Tangannya tidak bertolak pinggang dan menunjuk seperti pada lukisan Pieneman, tetapi mempersilakan dengan “sopan” menuju kereta tahanan. Lucunya, semua orang Belanda dalam lukisan Raden Saleh berkepala besar dalam artian yang sesungguhnya. Seluruh orang Belanda di sini mempunyai kepala yang melebihi proporsi tubuh mereka. Mungkin ini semacam sindiran pada pemerintah kolonial yang diibaratkan berkepala besar (sombong/angkuh) atau seperti buto seberang dalam pewayangan. Yang menarik ialah, Raden Saleh memberi warna merah putih di bagian atas sorban hijau Pangeran Diponegoro. Apakah warna itu sudah menjadi simbol perlawanan rakyat Indonesia dalam menentang kolonialisme pada masa itu hingga akhirnya menjadi warna bendera kita? Entahlah. Yang pasti dua warna tersebut punya arti sendiri di mata Raden Saleh. Ketika peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro (1830), Raden Saleh tengah berada di Eropa. Setelah tinggal beberapa tahun, kemudian ia pulang ke Hindia dan mulai memburu informasi tentang penangkapan sang pangeran melalui kerabat-kerabat dekat kerajaan, lalu menuangkannya di atas kanvas. Lukisan tersebut kemudian diberikan Raden Saleh untuk Raja Belanda, Willem III, sebagai hadiah. Mungkin pemberian lukisan ini semacam sindiran terhadap Raja Belanda tersebut, bahwa peristiwa yang sesungguhnya terjadi ialah peristiwa yang tergambar dalam lukisannya, bukan lukisan Pienema.

Setelah lebih dari seratus tahun berada di Belanda, pada 1976 lewat kunjungannya, Ratu Juliana mengembalikan lukisan ini ke pihak Indonesia. Sejak saat itu lukisan tersebut berada di Istana Negara, tepatnya di Museum Istana (Bruijn dan Pattopang, 2007). Selain lukisan Penangkapan Diponegoro, pengagum pelukis legendaris Perancis Ferdinand Victor Eugene Delacroix ini juga menghasilkan lukisan-lukisan lain yang juga bermuatan politis, di antaranya Perkelahian dengan Singa, Gunung Merapi dan Merbabu, dan Antara Hidup dan Mati. Lukisan Perkelahian dengan Singa dan Gunung Merapi dan Merbabu dibuat pada 1870. Kedua lukisan tersebut dibuat sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial atas perlakuan semena-mena terhadap dirinya. Ia ditangkap dan diadili oleh pemerintah kolonial karena dituduh terlibat dalam pemberontakan di Tambun, Bekasi pada 1869. Ketika pemimpin pemberontakan, Bassa Kolot, yang menyamar sebagai dirinya tertangkap, ia dibebaskan namun tetap di bawah pengawasan. Pada lukisan Antara Hidup dan Mati yang dibuat pada 1848, tergambar seekor banteng besar melawan singa jantan dan betina. Banteng besar merupakan lambang perlawanan rakyat Indonesia, sedangkan dua ekor singa adalah lambang kolonial (Winaya, 2008). Melalui karyanya ia juga menyindir nafsu manusia yang terus mengusik makhluk lain, seperti berburu singa, rusa, dan banteng.

Raden Saleh meninggal di Bogor pada 23 April 1880, konon karena diracun oleh pembantunya yang dituduh mencuri lukisannya. Namun dokter membuktikan kalau ia meninggal karena pembekuan darah. Lukisannya yang berjudul Penangkapan Diponegoro memang fenomenal. Ia mampu menghadirkan peristiwa sejarah penting dalam karya lukisnya. Menurut Bruijn dan Pattopang (2008), lukisan ini bisa menjadi simbol identitas bangsa. Alasannya, pertama, lukisan ini dibuat oleh maestro pelukis Indonesia, yaitu Raden Saleh. Kedua, subjek lukisan adalah seorang pahlawan bangsa, yaitu Pangeran Diponegoro. Ketiga, lukisan ini memiliki nilai estetika yang tinggi. Lebih dari itu, lukisan ini menggambarkan sebuah peristiwa bersejarah yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, yaitu penangkapan pemimpin Perang Jawa, Pangeran Diponegoro. Di dalam historiografi sejarah Indonesia, Perang Diponegoro atau Perang Jawa memang peristiwa perlawanan terhadap kolonial yang terbilang besar. Perang yang berlangsung selama lima tahun (1825-1830) ini menewaskan dua ratus ribu orang, sedangkan yang mengalami penderitaan berjumlah sepertiga dari penduduk Jawa kala itu, kira-kira dua juta orang (Kartodirdjo, 380-381: 1999). Perang ini juga menguras kas keuangan pemerintah pusat. Sudah merupakan kewajiban untuk menjaga warisan karya seni yang bernilai ini dengan sebaik-baiknya. Raden Saleh membuktikan, lewat karya seni, dirinya juga bisa melawan penjajahan. ***
*) Fandy Hutari adalah penulis buku, esais, cerpenis, novelis, dan wartawan tanpa surat kabar. Buku yang sudah diterbitkan: Sandiwara dan Perang, Politisasi Terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang (2009); dan Ingatan Dodol (2010).